Korupsi menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah penyelewengan
atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau
orang lain;
-- waktu cak penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi;
me·ngo·rup·si v menyelewengkan atau menggelapkan (uang dsb).
-- waktu cak penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi;
me·ngo·rup·si v menyelewengkan atau menggelapkan (uang dsb).
Dalam kenyataan sehari-hari
pandangan terhadap arti korupsi mengalami distorsi, terutama dari sisi jumlah
uang negara yang diselewengkan. Kalau jumlah uang yang relatif besar
disewengkan bukan main menjadi sorotan tajam dari media massa, padahal penyelewengani
menyangkut jumlah uang yang relatif kecil, kurang mendapat sorotan. Kalaupun
ada hanya secara sepintas saja, padahal jika penyelewengan jumlah uang yang
relatif kecil tadi dikaitkan dengan jumlah instansi pemerintah yang cukup
banyak saya kira secara total tidak terlalu jauh berdeda dengan korupsi jumlah uang yang relatif besar.
Akibat dari distorsi arti korupsi semacam ini, maka terjadi dikotomi yang semakin meluas yakni :
a . antar
lembaga pemerintah termasuk BUMN dan
BUMD
b . intern
lembaga pemerintah termasuk BUMN dan BUMD
c . antara
lembaga swasta dengan pemerintah
- antara masyarakat umum dengan pemerintah
Antar lembaga pemerintah
termasuk BUMN dan BUMD
Kalau diamati, lembaga pemerintah termasuk BUMN dan BUMD yang mengelola anggaran pemerintah/uang negara
dalam jumlah yang relatif besar mendapat prioritas utama sorotan media massa
karena dianggap rawan terjadinya korupsi. Akibatnya lembaga pemerintah termasuk BUMN dan BUMD yang mengelola anggaran pemerintah dalam
jumlah yang relatif kecil merasa bersih dari korupsi. Itu menurut saya secara
kasar bisa diartikan bahwa yang namanya menyelewengkan uang negara dalam jumlah ratusan juta keatas itu baru
namanya koprupsi, tapi kalau menyewenkan
uang negara dalam jumlah puluhan juta kebawah itu bukan
korupsi tapi pencurian kecil-kecilan.
Pecurian kecil-kecilan semacam ini coba kalau dijumlahkan, kemungkinan jumlah
uang yang terselewengkan mungkin juga kebih besar dari yang dikatakan korupsi
tadi.
Intern lembaga pemerintah
termasuk BUMN dan BUMD
Disini yang menjadi sorotan rawan kotupsi adalah
jabatan jabatan tertentu yang punya kewenangan dalam hal pengelolaan penggunaan
uang negara seperti Penanggungjawab Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA), PPK(Pejabat Pembuat Komitmen), Bendahara dan jabatan struktural maupun
fungsinal tertentu yang mempunyai akses dengan pengelolaan penggunaan Anggaran negara
biasanya dengan gampang dituduh koruptor oleh para pegawai yang lain. Pegawai
lain ini kalau disuruh membeli sesuatu dengan menggunakan uang negara lalu kwintani
pembeliannya di mark up bukan koruptor tapi tikus kecil yang mengerat uang negara secara kecil-kecilan.
Antra lembaga swasta dengan pemerintahKondisi ini muncul akibat interaksi antara lembaga swasta
yang diistilahkan rekanan dengan kuroptor maupun tikus kecil dalam hal pengadaan barang dan
jasa. Disini biasanya lembaga/perusahaaan swasta menganggap diri mereka bersih
bak domba, padahal mereka ibarat musang
berbulu domba. Kuroptor dan tikus kecil ingin mendapat bagian dari penggunanaan uang
negara akan dibelanjakan dengan meminta sang musang menaikan harga barang/jasa alias mark up. Atas kesepakatan ini si
musangpun ingin kebagian, bagian atas transaksi semacam ini, koruptor dan tikus
harus menyerahkan sebagian kecil uang mark up tadi kepada sang musang dengan
istilah fee. Kalau untuk jasa tertentu biasanya si musang yang memberikan fee
kepada para kuroptor dan tikus kecil setelah jasa yang diminta sang kuroptor dan tikus
kecil diserahakan dengan kualitas yang jauh lebih rendah dari yang diminta.
Dalam hal ini koruptor dan tikus kecil harus menanggung dosa yang sangat besar
alias digiring masuk beristirahat di hotel Prodeo kalau bernasib sial
(diketahui).
Antara
masyarakat umum dengan pemerintah
Umumnya masyarakat umum merasa diri mereka bak malaekat,
memang betul malaekat tapi malaekat maut. Bagaimana tidak merasa diri malaekat,
dengan mudah mereka nekad menuduh pemerintah itu koruptor, baik dalam
percakapan sehari-hari maupun ketika mereka berdemosttrasi di jalan-jalan umum
dan instansi pemerintah.
Saya mencoba mengemukakan contoh berkikut ini yang
menyatakan bahwa masyarakat umum juga bertindak sebagai malaekat maut. Ketika
pemerintah memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada rumahtangga yang
dianggap miskin akibat ada kebijakan kenaikan harga BBM. Apa yang terjadi,
mereka yang sebenarnya tidak miskin malah hidup berkecukupan nekad mengaku
miskin agar bisa menikmati BLT sedangkan rumahtangga-rumahtangga yang justru
miskin malah tidak kebagian BLT. Para Malaekat maut ini malah menuding koruptor
dan tikus kecil yang justru melakukan korupsi. Dasar Malaekat Maut. Begitu juga
bantuan-bantuan lain dari pemerintah yang ditujukan kepada orang-orang miskin
seperti jamkesmas, raskin dll, nekad diserobot juga oleh para malaekat maut
ini. Memang, tidak tertutup kemungkinan adanya kong kalikong antara koruptor
dan tikus kecil dengan para malaekat maut untuk merampas nasi simiskin.
Kesimpulan saya korupsi di Negara tercinta ini sudah merajalela di
segala abad, tempat dan juga lapisan masyarakat, jadi rasanya tidak ada alasan
untuk menolak istilah korupsi berjemaah.
Sebaliknya
saya harus salut kepada orang-orang tertentu yang rela menikmati makanan hasil
jerih payahnya sendiri karena takut dan sangat punya rasa hormat kepada Tuhan tanpa ingin bersentuhan dengan para koruptor,
tikus kecil, macan berbulu domba dan malaekat maut. Berbahagialah orang2 yang
demikian, karena mereka akan menetap dalam kebahagiaan dan anak cucunya akan
mewarisi bumi (Mazmur 25 : 13).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar