Sabtu, 08 Juni 2013

Penganggulangan Kemiskinan Di Maluku



Sesuai dengan konsep data kemiskinan yang dipakai BPS, secara umum bisa dikatan bahwa jumlah orang miskin adalah sejumlah orang yang mempunyai pengeluaran rumahtangganya perkapita perbulan dibawah besaran nilai tertentu yang dipatok sebagai pengeluan minimal seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pengeluan minimal seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasrnya lebih dikenal dengan batas garis kemiskinan. Batas garis kemiskinan ini diukur melalaui nilai pengeluaran terhadap beberapa komodi terpilih yang digunakan sebagai paket komoditi penentuan garis kemiskinan.

Ada beberapa orang pandai yang  berpendidikan  bahkan mempunyai jabatan yang tinggi di Maluku yang tidak sependapat dengan konsep kemiskinan BPS ini. Hal ketidaksetujuan ini nampaknya bukan saja terjadi di Maluku, tapi juga diberapa wilayah lain di NKRI ini.

Sebagai seorang pegawai BPS awalnya tentu saja saya merasa jengkel dengan pendapat yang berseberangan dengan data BPS ini tapi setelah mengikuti beberapa diskusi menyangkut masalah kemiskinan di layar kaca, dan saya coba renungkan, ternyata ada benarnya juga. Saya mengatakan benar karena jika dipandang dari sisi penanggulangan kemiskinan tidak perlu orang-orang yang miskin tadi diberi bantuan secara langsung seperti BLT pada waktu lalu. BLT semacam ini malah bisa mengarah kepada sekedar penyelamatan muka pemerintah untuk berjaga-jaga supaya yang diberi BLT ketika disurvei (jika kebetulan menjadi sampel) nilai konsumsinya tetap terjaga tidak jatuh dibawah garis kemiskinan. Cara penanggulangan kemiskinan semacam ini boleh dikatakan bantuan yang bersifat basa-basi belaka sebagai upaya pencitraan pemerintah belaka.

Maluku, kondisi georafiknya terdiri dari pulau-pulau yang terpisahkan oleh laut yang cukup luas, tidak ditunjang dengan prasarana dan sarana transportasi laut yang memadai. Ketidaktersediaan prasarana dan sarana transpotasi yang memadai inilah sebenarnya menjadi akar masalah tingkat kemiskinan yang tinggi di Maluku, selain maraknya tindakan korupsi tidak berperikemanusiaan oleh beberapa oknum pejabat daerah serta ego sektor dari tiap-tiap SKPD yang ada. Program pembangunan daerah yang berbasis gugus pulau hanya sang bunga saja kata orang Ambon.  Sehebat apapun program pembangunan yang direncanakan dan dicanangkan di Maluku tanpa upaya nyata mengatasi ketersediaan prasarana dan sarana transpotasi laut yang tidak memadai sama saja bohooooonnng!.  Siapapun Gubernurnya, Siapa Bupatinya, siapapun dan apapun jabatannya bahkan tingkat pendidikan setinggi langitpun, tidak akan bisa berbuat sesuatu untuk mengatasi tingkat kemiskinan di Maluku tanpa adanya upaya menyediakan prasarana dan sarana transportasi laut yang memadai.  Membangun prasarana transportasi  laut yang memadai tentu membutuhkan biaya yang tidak kecil, tapi sebesar dan sesulit apapun juga suka atau tidak suka harus diupayakan oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/kota. Jangan harap investor akan mau membangun prasarana transportasi laut, karena harapan mereka nilai investasinya bisa kembali dalam waktu yang relatif singkat. Bagi investor, mana mungkin harapan tersebut dipenuhi jika sistem dan pola pemerintahan berubah-ubah mengikuti selera penguasa yang berkuasa berganti-ganti setiap lima tahun sekali. Arah dan tujuan Pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah hanya jelas secara teori tapi menjadi abu-abu dalam praktek. Investor hanya mau menginvestasi uangnya berupa prasarana ekonomi konsumtif yang berada pada pusat pemerintahan seperti yang terjadi akhir-akhir ini di kota Ambon manisme yakni munculnya pusat-pusat pembelanjaan mewah seperti ACC dan MCM. Rupanya Pemda tidak sadar bahwa cara yang demikian mereka lebih berpihak pada si kaya tapi membunuh pengusaha kecil yang pasti akan kalah bersaing dengan pengusaha  multi regional yang juga menjual barang-barang yang sama yang dijual oleh pengusaha kecil di pasar tradisional.Tentu saja konsumen lebih memilih belanja di pusat perbelanjaan mewah ketimbang pasar tradisional. Alasannya suasana belanja lebih nyaman harganyapun tidak jauh berbeda bahkan kadang lebih murah.

Mengatasi kemiskinan di Maluku mestinya tidak  dimulai dengan memberi bantuan berupa  sarana produksi kepada orang miskin untuk mengembangkan usaha pertaniannya dipedesaan. Upaya yang demikian tidak beda dengan menyiksa para petani untuk bekerja keras, namun menjadi bingung dengan hasil pertanian yang dihasilkannya karena tidak tahui kemana mau menjual hasil tersebut. Akibatnya petani bukan menentukan harga, tetapi tengkulak dan pedagang pengumpullah yang menentukan harga jual, petani tinggal nrimo. Resiko dari tidak mau mengikuti  harga jual yang ditentukan tengkulak dan pedagang besar adalah membusuknya hasil pertanian mereka. Buktinya harga produsen pedesaan di Maluku jauh dibawah harga konsumen di pusat-pusat pemasaran. Kasihan benar para petani, karena kerja keras mereka hanya menguntungkan para tengkulak dan pedagang.

Upaya mengatasi kemiskinan di Maluku,  sebaikya dimulai dengan membuka akses ke pusat pemasaran hasil produksi para petani. Membuka akses ke pusat pemasaran hasil produksi berarti menyediakan prasarana dan sarana transportasi. Dengan tersedianya akses seperti ini maka kegairahan berproduksi akan timbul dengan sendirinya dikalangan petani yang nota bene disitu terdapat banyak orang miskin. .Kalau gairah berusaha sudah timbul maka bantuan sarana produki kepada petani di pedesaan tidak akan disalahgunakan seperti yang terjadi sekarang. Motor laut yang diperuntukan untuk menangkap ikan, malah digunakan untuk usaha transportasi.

Semoga calon gubernur Maluku yang nantinya terpilih untuk periode 2013-2018, akan mampu menurunkan jumlah persentase penduduk miskin Maluku secara signifiken. Semoooooogaaaaaa.

Tidak ada komentar: