Sesuai
dengan konsep data kemiskinan yang dipakai BPS, secara umum bisa dikatan bahwa
jumlah orang miskin adalah sejumlah orang yang mempunyai pengeluaran
rumahtangganya perkapita perbulan dibawah besaran nilai tertentu yang dipatok
sebagai pengeluan minimal seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Pengeluan minimal seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasrnya lebih dikenal
dengan batas garis kemiskinan. Batas garis kemiskinan ini diukur melalaui nilai
pengeluaran terhadap beberapa komodi terpilih yang digunakan sebagai paket
komoditi penentuan garis kemiskinan.
Ada
beberapa orang pandai yang
berpendidikan bahkan mempunyai
jabatan yang tinggi di Maluku yang tidak sependapat dengan konsep kemiskinan
BPS ini. Hal ketidaksetujuan ini nampaknya bukan saja terjadi di Maluku, tapi
juga diberapa wilayah lain di NKRI ini.
Sebagai
seorang pegawai BPS awalnya tentu saja saya merasa jengkel dengan pendapat yang
berseberangan dengan data BPS ini tapi setelah mengikuti beberapa diskusi
menyangkut masalah kemiskinan di layar kaca, dan saya coba renungkan, ternyata
ada benarnya juga. Saya mengatakan benar karena jika dipandang dari sisi penanggulangan
kemiskinan tidak perlu orang-orang yang miskin tadi diberi bantuan secara
langsung seperti BLT pada waktu lalu. BLT semacam ini malah bisa mengarah
kepada sekedar penyelamatan muka pemerintah untuk berjaga-jaga supaya yang
diberi BLT ketika disurvei (jika kebetulan menjadi sampel) nilai konsumsinya
tetap terjaga tidak jatuh dibawah garis kemiskinan. Cara penanggulangan
kemiskinan semacam ini boleh dikatakan bantuan yang bersifat basa-basi belaka
sebagai upaya pencitraan pemerintah belaka.
Maluku,
kondisi georafiknya terdiri dari pulau-pulau yang terpisahkan oleh laut yang
cukup luas, tidak ditunjang dengan prasarana dan sarana transportasi laut yang
memadai. Ketidaktersediaan prasarana dan sarana transpotasi yang memadai inilah
sebenarnya menjadi akar masalah tingkat kemiskinan yang tinggi di Maluku,
selain maraknya tindakan korupsi tidak berperikemanusiaan oleh beberapa oknum
pejabat daerah serta ego sektor dari tiap-tiap SKPD yang ada. Program
pembangunan daerah yang berbasis gugus pulau hanya sang bunga saja kata orang Ambon.
Sehebat apapun program pembangunan yang direncanakan dan dicanangkan di
Maluku tanpa upaya nyata mengatasi ketersediaan prasarana dan sarana
transpotasi laut yang tidak memadai sama saja bohooooonnng!. Siapapun Gubernurnya, Siapa Bupatinya,
siapapun dan apapun jabatannya bahkan tingkat pendidikan setinggi langitpun,
tidak akan bisa berbuat sesuatu untuk mengatasi tingkat kemiskinan di Maluku
tanpa adanya upaya menyediakan prasarana dan sarana transportasi laut yang
memadai. Membangun prasarana
transportasi laut yang memadai tentu
membutuhkan biaya yang tidak kecil, tapi sebesar dan sesulit apapun juga suka
atau tidak suka harus diupayakan oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun
Kabupaten/kota. Jangan harap investor akan mau membangun prasarana transportasi
laut, karena harapan mereka nilai investasinya bisa kembali dalam waktu yang
relatif singkat. Bagi investor, mana mungkin harapan tersebut dipenuhi jika
sistem dan pola pemerintahan berubah-ubah mengikuti selera penguasa yang berkuasa
berganti-ganti setiap lima tahun sekali. Arah dan tujuan Pembangunan yang
dilaksanakan Pemerintah hanya jelas secara teori tapi menjadi abu-abu dalam
praktek. Investor hanya mau menginvestasi uangnya berupa prasarana ekonomi
konsumtif yang berada pada pusat pemerintahan seperti yang terjadi akhir-akhir
ini di kota Ambon manisme yakni munculnya pusat-pusat pembelanjaan mewah
seperti ACC dan MCM. Rupanya Pemda tidak sadar bahwa cara yang demikian mereka
lebih berpihak pada si kaya tapi membunuh pengusaha kecil yang pasti akan kalah
bersaing dengan pengusaha multi regional
yang juga menjual barang-barang yang sama yang dijual oleh pengusaha kecil di
pasar tradisional.Tentu saja konsumen lebih memilih belanja di pusat
perbelanjaan mewah ketimbang pasar tradisional. Alasannya suasana belanja lebih
nyaman harganyapun tidak jauh berbeda bahkan kadang lebih murah.
Mengatasi
kemiskinan di Maluku mestinya tidak dimulai
dengan memberi bantuan berupa sarana
produksi kepada orang miskin untuk mengembangkan usaha pertaniannya dipedesaan.
Upaya yang demikian tidak beda dengan menyiksa para petani untuk bekerja keras,
namun menjadi bingung dengan hasil pertanian yang dihasilkannya karena tidak
tahui kemana mau menjual hasil tersebut. Akibatnya petani bukan menentukan
harga, tetapi tengkulak dan pedagang pengumpullah yang menentukan harga jual,
petani tinggal nrimo. Resiko dari tidak mau mengikuti harga jual yang ditentukan tengkulak dan
pedagang besar adalah membusuknya hasil pertanian mereka. Buktinya harga
produsen pedesaan di Maluku jauh dibawah harga konsumen di pusat-pusat
pemasaran. Kasihan benar para petani, karena kerja keras mereka hanya
menguntungkan para tengkulak dan pedagang.
Upaya
mengatasi kemiskinan di Maluku, sebaikya
dimulai dengan membuka akses ke pusat pemasaran hasil produksi para petani. Membuka
akses ke pusat pemasaran hasil produksi berarti menyediakan prasarana dan
sarana transportasi. Dengan tersedianya akses seperti ini maka kegairahan
berproduksi akan timbul dengan sendirinya dikalangan petani yang nota bene
disitu terdapat banyak orang miskin. .Kalau gairah berusaha sudah timbul maka
bantuan sarana produki kepada petani di pedesaan tidak akan disalahgunakan
seperti yang terjadi sekarang. Motor laut yang diperuntukan untuk menangkap
ikan, malah digunakan untuk usaha transportasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar