Jumat, 05 April 2013

Korupsi # Pencurian Kecil-Kecilan# Tikus Kecil# Musang Berbulu Domba# Malaekat Maut?



Korupsi  menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah  penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain;
-- waktu cak penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi;
me·ngo·rup·si v menyelewengkan atau menggelapkan (uang dsb).
Dalam kenyataan sehari-hari pandangan terhadap arti korupsi mengalami distorsi, terutama dari sisi jumlah uang negara yang diselewengkan. Kalau jumlah uang yang relatif besar disewengkan bukan main menjadi sorotan tajam dari media massa, padahal penyelewengani menyangkut jumlah uang yang relatif kecil, kurang mendapat sorotan. Kalaupun ada hanya secara sepintas saja, padahal jika penyelewengan jumlah uang yang relatif kecil tadi dikaitkan dengan jumlah instansi pemerintah yang cukup banyak saya kira secara total tidak terlalu jauh berdeda  dengan korupsi jumlah uang yang relatif besar. Akibat dari distorsi arti korupsi semacam ini, maka terjadi dikotomi  yang  semakin meluas yakni :
a     .   antar lembaga  pemerintah termasuk BUMN dan BUMD
b     .      intern lembaga  pemerintah termasuk  BUMN dan BUMD
c     .       antara lembaga swasta dengan pemerintah
-    antara masyarakat umum dengan pemerintah

Antar lembaga  pemerintah termasuk BUMN dan BUMD
Kalau diamati, lembaga  pemerintah termasuk BUMN dan BUMD  yang mengelola anggaran pemerintah/uang negara dalam jumlah yang relatif besar mendapat prioritas utama sorotan media massa karena dianggap rawan terjadinya korupsi. Akibatnya lembaga  pemerintah termasuk BUMN dan BUMD yang mengelola anggaran pemerintah dalam jumlah yang relatif kecil merasa bersih dari korupsi. Itu menurut saya  secara kasar bisa diartikan bahwa yang namanya menyelewengkan uang  negara  dalam jumlah ratusan juta keatas itu baru namanya koprupsi, tapi kalau menyewenkan uang  negara  dalam jumlah puluhan juta kebawah itu bukan korupsi tapi pencurian kecil-kecilan. Pecurian kecil-kecilan semacam ini coba kalau dijumlahkan, kemungkinan jumlah uang yang terselewengkan mungkin juga kebih besar dari yang dikatakan korupsi tadi.




Intern lembaga  pemerintah termasuk BUMN dan BUMD
Disini yang menjadi sorotan rawan kotupsi adalah jabatan jabatan tertentu yang punya kewenangan dalam hal pengelolaan penggunaan uang negara seperti Penanggungjawab Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), PPK(Pejabat Pembuat Komitmen), Bendahara dan jabatan struktural maupun fungsinal tertentu yang mempunyai akses dengan pengelolaan penggunaan Anggaran negara biasanya dengan gampang dituduh koruptor oleh para pegawai yang lain. Pegawai lain ini kalau disuruh membeli sesuatu dengan menggunakan uang negara lalu kwintani pembeliannya di mark up bukan koruptor tapi tikus kecil yang mengerat uang negara secara kecil-kecilan.
Antra lembaga swasta dengan pemerintahKondisi ini  muncul akibat interaksi antara lembaga swasta yang diistilahkan rekanan dengan kuroptor maupun  tikus kecil dalam hal pengadaan barang dan jasa. Disini biasanya lembaga/perusahaaan swasta menganggap diri mereka bersih bak domba, padahal mereka ibarat musang berbulu domba. Kuroptor dan tikus kecil  ingin mendapat bagian dari penggunanaan uang negara akan dibelanjakan dengan meminta sang musang menaikan harga barang/jasa  alias mark up. Atas kesepakatan ini si musangpun ingin kebagian, bagian atas transaksi semacam ini, koruptor dan tikus harus menyerahkan sebagian kecil uang mark up tadi kepada sang musang dengan istilah fee. Kalau untuk jasa tertentu biasanya si musang yang memberikan fee kepada para kuroptor dan tikus kecil setelah  jasa yang diminta sang kuroptor dan tikus kecil diserahakan dengan kualitas yang jauh lebih rendah dari yang diminta. Dalam hal ini koruptor dan tikus kecil harus menanggung dosa yang sangat besar alias digiring masuk beristirahat di hotel Prodeo kalau bernasib sial (diketahui).


Antara masyarakat umum dengan pemerintah
Umumnya masyarakat umum merasa diri mereka bak malaekat, memang betul malaekat tapi malaekat maut. Bagaimana tidak merasa diri malaekat, dengan mudah mereka nekad menuduh pemerintah itu koruptor, baik dalam percakapan sehari-hari maupun ketika mereka berdemosttrasi di jalan-jalan umum dan instansi pemerintah.
Saya mencoba mengemukakan contoh berkikut ini yang menyatakan bahwa masyarakat umum juga bertindak sebagai malaekat maut. Ketika pemerintah memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada rumahtangga yang dianggap miskin akibat ada kebijakan kenaikan harga BBM. Apa yang terjadi, mereka yang sebenarnya tidak miskin malah hidup berkecukupan nekad mengaku miskin agar bisa menikmati BLT sedangkan rumahtangga-rumahtangga yang justru miskin malah tidak kebagian BLT. Para Malaekat maut ini malah menuding koruptor dan tikus kecil yang justru melakukan korupsi. Dasar Malaekat Maut. Begitu juga bantuan-bantuan lain dari pemerintah yang ditujukan kepada orang-orang miskin seperti jamkesmas, raskin dll, nekad diserobot juga oleh para malaekat maut ini. Memang, tidak tertutup kemungkinan adanya kong kalikong antara koruptor dan tikus kecil dengan para malaekat maut untuk merampas nasi simiskin.


Kesimpulan saya korupsi di Negara tercinta ini sudah merajalela di segala abad, tempat dan juga lapisan masyarakat, jadi rasanya tidak ada alasan untuk menolak istilah korupsi berjemaah.




Sebaliknya saya harus salut kepada orang-orang tertentu yang rela menikmati makanan hasil jerih payahnya sendiri karena takut dan sangat punya rasa hormat kepada Tuhan  tanpa ingin bersentuhan dengan para koruptor, tikus kecil, macan berbulu domba dan malaekat maut. Berbahagialah orang2 yang demikian, karena mereka akan menetap dalam kebahagiaan dan anak cucunya akan mewarisi bumi (Mazmur 25 : 13).
 

Tidak ada komentar: