Bagi kalangan di luar BPS entah mengerti atau tidak sering menjadi bingung terhadap angka atau data statistik yang dipublikasikan oleh BPS. BPS sendiri dipihak lain juga entah sadar atau tidak, merasa bahwa masyarakat telah atau mestinya telah memahami angka yang telah dipublikasikan dan dijelaskan kepada masyarakat awam oleh BPS.
Lalu dimana sebenarnya letak ketidaksambungan komunukasi ini?
Saya pribadi mencoba mengamati dari sisi pemahaman masyarakat awam terhadap angka2 BPS yang berkaitan dengan metode penghitungan dari angka2 itu sendiri.
Mudah-mudahan masyarakat awam bisa memahami bahwa data BPS yang dipubikasikan ada 2 katagori yaitu data statistik dasar dan data staistik turunan. Data statistik dasar merupakan data langsung yang menggambarkan objek penelitian (mungkin defenisi kurang mengena) lebih baik diberikan contoh data dasar seperti data penduduk, Data pendapatan dan pengeluaran rumahtangga, data pendidikan, dll. Sedangkan data statistik turunan merupakan data yang diturunkan dari kompilasi beberapa data dasar contoh data kemiskinan merupakan data statistik turunan yang dirurunkan dari data dasar data penduduk dan data dasar data pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. IPM merupakan data staistik turunan yang diturunkan dari data dasar pendidikan, data dasar kesehatan dan data dasar pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Begitu juga dengan Data PDRB yang juga merupakan data statistik turunan yang diturunkan dari data dasar data produksi berbagai sektor ekonomi, data dasar data hargar berbagai sektor ekonomi, data dasar data pendapatan dan pengeluaran rumahtangga, data dasar data pendapatan dan pengeluaran pemerintah, data dasar data eksport-import, data dasar data investasi dll.
Masyarakat awam, menurut dugaan saya memahami angka statistik turunan yang dihasilkan BPS sebatas teori2 yang dipelajari di bangku pedidikan, sehingga ketika suatu angka statistik turunan yang dikeluarkan BPS lebih banyak diterima/ditolak berdasarkan teori yang dikaitkan dengan kenyataan yang ada secara kasat mata. BPSpun ketika ditanyakan kenapa terjadi angka statistik turunan tersebut, lebih banyak dijawab berdasarkan argumentasi teori pula. Jarang BPS menunjukan data dasar yang membentuk angka staistik turunan yang terbentuk tersebut. Contoh, data kemiskinan penduduk Maluku yang menduduki peringkat 3 terbesar di Indonesia. Mestinya BPS Bisa menunjukkan jumlah penduduk yang berkatagori miskin dengan pola konsumsinya, sehingga angka kemiskinan tersebut bisa dipahami.
Angka statistik turunan disusun berdasarkan kerangka teori, tapi teori secara murni tentu tidak bisa diterapkan karena berbagai keterbatasan tapi ditanggulangi dengan berbagai asumsi. Contoh, dalam penghitungan angka inflasi sebagai data statistik turunan. Pola konsumsi rumahtangga dianggap/disasumsikan sama setiap kali dengan pola konsumsi pada tahun dasaar yang pada waktu itu dilakukan survei biaya hidup sebagai data dasar utama pola pengeluaran/konsumsi rumahtangga yang dipakai sebagai diagram timbang untuk penghitungan inflasi. Tentu saja asumsi tentang pola konsumsi yang tetap tadi, tidak sesuai dengan kenyataan dimana pola konsumsi bisa saja berubah setiap waktu. Tapi ika pola konsumsi yang akan digunakan sebagai diagram timbang setiap waktu harus diikuti maka survei biaya hidup yang membutuhakan biaya dan waktu yang besar mestinya harus dilakukan juga tapi tentu saja tidak mungkin karena biaya dan waktu yang tidak tertanggulangi.
Tapi dari sisi penjelasan kepada publik, dapat dijelaskan secara tuntas tentang perubahan harga dari komoditi-komoditi apa saja yang menyebabkan angka inflasi itu terbentuk.
Alangkah baiknya juga jika pejelasan semacam ini bisa dijelaskan juga ke publik untuk data kemiskinan, PDRD, dan data statistik turunan lainnya. Kalau saja ini semua bisa dijelaskan, BPS puas, masyarakat juga puas. Selama ini seolah ada dusta diantara kita, tapi sebenarnya bukan dusta, tapi soal mau menjelaskan atau mau memahami atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar