Ketika orang Maluku mendengar, bahwa jumlah penduduk Maluku yang miskin menduduki peringkat ketiga di Indonesia yang terungkap melalui data BPS, ada muncul reaksi pro dan kontra. Reaksi yang pro kurang nampak jelas alasan kenapa mengamini data BPS. Reaksi kontra umumnya beralasan di Maluku banyak makanan, sekalipun orang-orang desa kebanyakan tidak makan beras dan beberapa komoditi makanan lain yang digunakan sebagai komoditi makanan yang digunakan secara Nasional untuk mengukur standart kecukupan kebutuhan 2100 kalori perkapita perhari, namun komoditi makanan lain tersebut dimakan/dikonsumsi dalam jumlah yang boleh dikatakan berlimpah. Itu berarti dari sisi makanan, tidak mungkin. Dari sisi non makanan, ada komponen tertentu seperti wc, katanya kebanyakan orang desa lebih senang melakukan ritual babnya di pantai atau di sungai atau di hutan sehingga kebanyakan orang desa tidak mempunyai WC dan berbagai alasan lain yang digunakan untuk memperkuat argumentasi bahwa jumlah orang Maluku yang miskin tidak mungkin sebanyak yang terungkap oleh data BPS.
Alasan-alasan yang diuraikan di atas mestinya dicemati melalui perbandingan dengan metodologi penghitungan yang digunakan dalam penghitungan jumlah penduduk miskin yang bisa terukur secara absulut sedangkan yang relatif seperti tingkat kepuasan, kebiasaan dan lain-lain, dieliminer dalam penentuan seseorang dikatagorikan miskin atau tidak. Yang non makanan seperti WC, air bersih dan beberapa komponen perumahan yang lain diukur melalui pedekatan memenuhi standart kesehatan minimal. Rumah yang punya WC, penggunaan air minum yang berasal dari leding yang dikelola oleh PAM karena telah dilakukan perlakuan (pemberiaan obat-obatan) untuk menghindari kuman penyakit lebih mendekati standart kesehatan minimal daripada rumah yang tidak mempunyai WC dan peggunaan air minum yang tidak dilakukan perlakuan(pemberiaan obat-obatan).
Untuk komoditi makanan, belum semua komoditi diketahui seberapa besar kandungan kolorinya, sehingga dilakukan pendekatan melalui kesetaraan nilai konsumsi. Hal ini karena, dalam pelaksanaan survei, tingkat kepercayaan jawaban responden antara volume konsumsi dan nilai konsumsi, yang lebih mendekati kebenaran adalah nilai konsumsi, karena bisa dilihat secara kasat mata di pasar setempat dibandingkan dengan volume penjualan yang umumnya dijual tidak dalam bentuk satuan standart (gram, ons, kg dll), tetapi dalam bentuk satuan setempat seperti tumpuk, ikan, bakul dam lain-lain.
Penggunaan pendekatan dengan kesetaraan nilai konsumsi (makanan) dan pemenuhan standart kelayakan hidup minimal (non makanan) maka alasan yang bisa dikemukan untuk menerima bahwa jumlah penduduk miskin di Maluku memang cukup tinggi adalah :
Nilai konsumsi penduduk pedesaan di Maluku rendah karena harga-harga komoditi pertanian (yang dihasilkan petani) di daerah pedesaan dijual dengan harga yang masih rendah di satu sisi, sedangkan pada sisi yang lain komoditi yang dikonsumsi oleh petani terutama yang tidak dihasilkan petani dibeli dengan harga yang mahal. Hal ini bisa dilihat pada perbandingan tingkat perkembangan harga barang pertanian yang dihasilkan petani(It) dibandigkan tingkat perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumahtangga tani (IHK) pada grafik1. It dan IHK Pedesaan Gabungan 5 Sub Sektor Dirinci per BulanTahun 2010 berikut ini.
GRAFIK. 1
It dan IHK Pedesaan Gabungan 5 Sub Sektor Dirinci per BulanTahun 2010
It dan IHK Pedesaan Gabungan 5 Sub Sektor Dirinci per BulanTahun 2010
Dengan kondisi yang demikian, maka petani di Maluku akan mengalami kesulitan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya guna mencapai standart kelayakan hidup minimal.
Pengamatan dengan penggunaan pendekatan dari sisi jumlah dan lapangan pekerjaan penduduk Maluku, yang sebagian besar tinggal di wilayah pedesaan (.. persen) yang nota bene sebagian besar (.. persen) bekerja di sektor pertanian maka bisa diduga jumlah penduduk miskin si Maluku masih cukup tinggi terutama di daerah pedesaan.
Pengamatan dengan pendekatan konsep penduduk, dimana penduduk Maluku bukan saja orang/suku Maluku, tetapi juga para pendatang dimana secara kasat mata bisa kita lihat di kota Ambon dan beberapa wiyalah lain terutama dilokasi pasar maka bisa dilihat banyak juga para pendatang yang mengadu nasib di Maluku dengan kondisi hidup yang sangat memprihatinkan (bertempat tinggal tidak tetap pada tempat-tempat tinggal yang tidak layak)
.
Pertumbuhan ekonomi dan IPM VS Kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi, diperoleh dari hasil penghitungan PDRB, yang mencakup sektor pertanian s/d sektor jasa-jasa. Pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan dari seluruh NTB sektor-sektor ekonomi tersebut di atas. NTB itu sendiri terdiri dari komponen upah & gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan. Upah & gaji diterima oleh para tenaga kerja, sewa tanah diterima oleh pemilik tanah, bunga modal diterima oleh pemilik modal dan keuntungan diterima oleh pengusaha.
Di Maluku sekitar 60 persen dari tenaga kerja bekerja di sektor pertanian, sehingga bisa diindikasikan bahwa sebagian besar rumahtangga di Maluku menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Itu berarti pertumbuhan sektor pertanian di Maluku diharapkan bisa tinggi. Sektor pertanian itu sendiri terdiri dari sub sektor tanaman bahan makanan, subsektor tanaman perkebunan, subsektor peternakan, sub sektor kehutanan dan sub sektor perikanan.
Berdasarkan data hasil sensus pertanian tahun 2003, sebagian besar rumahtangga pertanian yang menggunakan lahan sebesar 96,6 persen. Ini berarti mereka termasuk pada sub sektor sub sektor tanaman bahan makanan, subsektor tanaman perkebunan, subsektor peternakan dan sub sektor kehutanan. Hanya 3, 94 persen yang bekerja pada sub sektor perikanan.
Data berikut ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi propinsi Maluku selama tahun 2005 – 2009.
Tabel 1. Rincian Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Maluku Tahun 2006 – 2009
(Persen)
Pada Tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi Propinsi Maluku pertahun periode 2005-2009’ yang relatif tinggi justru berada pada sektor non Pertanian(4,83 persen), sedangkan sektor pertanian yang menyerap sebagian besar tenaga kerja propinsi Maluku, hanya 2,81 persen. Kalau dicermati lagi tentang pertumbuhan sektor pertanian, maka terlihat bahwa pertumbuhan sektor pertanaian yang digeluti oleh sebagian besar rumahtangga pertnian justru yang paling rendah yani hanya 2,34 persen. Bisa dilihat juga bahwa pertumbuhan sektor Pertanian di Maluku lebih banyak dipacu oleh sub sektor perikanan. Dalam sub sektor perikanan itu sendiri lebih didominasi oleh Nelayan-nelayan berdasi alias pengusaha besar, Yang kemungkinan besar pula kebanyakan tidak bertempat tinggal di Propinsi Maluku.
Dari sisi angka IPM, secara Nasional, Maluku berada pada peringkat 19 dengan IPM sebesar 70,96 pada Tahun 2009. IPM ini merupakan merupakan rata-rata dari nilai komponen kesehatan (harapan hidup), komponen pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah) dan (komponen daya beli). Yang punya kaitan langsung dengan kemiskinan adalah komponen daya beli. Daya beli penduduk Maluku tahun 2009 adalah sebesar Rp. 610,73 perkapita perbulan. Dari sisi daya beli ini (tahun 2008, karena data tahun 2009 belum tersedia pada kami) Maluku hanya berada pada peringkat ke 29 atau kelima terendah dari 33 Provinsi Di Indonesia. Maluku berada di atas Papua Barat, Maluku Utara, Papua dan Nusa Tenggara Timur. Peringkat IPM yang tinggi (19) rupanya lebih dipengaruhi oleh komponen pendidikan khususnya tingkat melek huruf yang mencapai 98,13 persen.
Angka daya beli di atas merupakan angka rata-rata, yang dihitung berdasarkan data struktur pengeluaran pennduduk Maluku seperti di bawah ini :
Tabel 2. Persentase Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan Golongan Pengeluaran Perkapita Sebulan
Tahun 2009
Gol Pengeluaran | Persentase Penduduk | Pada angka-angka di samping, terlihat bahwa 12,57 persen penduduk Maluku secara langsung berada di bawah garis kemiskinan yang sebesar Rp. 207.710,- |
(1) | (2) | |
< 100.000,- | 0,70 | |
100.000,- s.d. 149.999,- | 4,30 | |
150.000,- s.d 199.999,- | 7,57 | |
200.000,- s.d 299.999,- | 24,20 | |
300.000,- s.d 499.999 | 33,65 | |
500.000,- s.d 749.999,- | 17,56 | |
750.000,- s.d 999.999 | 6,33 | |
> 1.000.000,- | 5,69 |
Dengan jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebesar 28,23 persen dengan garis kemiskinan sebesar Rp.207.711/bulan , artinya ada sekitar 15,66 persen penduduk Maluku yang mempunyai pendapatan di antara golongan peingeluaran 200.000– 299.999, pendapatan/pengeluarn penduduk maluku cukup besar.
Kesempulan (1) indikator makro Maluku yang cukup menyakinkan tidak bisa mencerminkan kondisi kemiskinan penduduk Maluku yang seirama dengan indikator makro tersebut. indikator makro yang ada mesti dicermati lagi secara baik (2) Dari sisi aksi penanggulan kemiskinan, Maluku masih sangat memerlukan prasarana dan sarana transportasi untuk membuka centra-centra produksi yang masih terisolir dari wilayah pemasaran (3) untuk merealesasikan butir (2) memerlukan peta centra produksi yang jelas (tidak asal dibangun sesuai selera yang punya gawe) (4). Investor yang masuk ke Maluku tidak sekedar mengelola, menghasilkan lalu diharapkan ada penyerapan tenaga lokal, tapi juga bisa menjadi pasar bagi petani kecil, sehingga bisa saling menghidupkan antara investor itu sendiri dengan petani setempat. Pengalaman membuktikan bahwa tenaga kerja lokal yang terserap oleh perusahaan besar sangat tidak signifikan dibandingkan tenaga kerja yang dibawa dari luar Maluku, hal ini bisa dimaklumi karena yang namanya investor pasti mencari untung, bukan jawatan sosial yang rela menampung pekerja lokal yang tidak berkualitas/memerlukan tambahan biaya pelatihan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar